Pages

Ads 468x60px

Labels

Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Rabu, 07 November 2018

Para Khalifah Dan Penghormatannya Pada Guru



Oleh: Mahmud Budi Setiawan

Bulan Oktober dikenal dan diperingati ‘Hari Guru Sedunia’. Tapi benarkah penghormatan itu sepadan dengan amal dan jerih payah yang telah mereka lakukan?

Faktanya,  mereka yang seharusnya menempati posisi terhormat alasannya ialah keluhuran profesi, sejauh ini belum mendapat perlakuan layak. Di lapangan, yang justru seringkali terjadi mereka hanya didikte dan tak jarang dikriminalisasi. Ada kesenjangan perilaku yang luar biasa yang ditujukan kepada mereka: ketika guru dianggap salah, urusanya eksklusif ke pengadilan. Namun, ketika berhasil mendidik anak, maka penghormatan pada mereka kurang diberikan. Yang banyak justru dilupakan.

Di masa kejayaan Islam, guru begitu dihormati baik oleh negara dan masyarakat. Mehdi Nakosteen misalnya, dalam buku “Kontribusi Islam atas Intelektual Dunia Barat” (1996: 76-77) mencatat bahwa guru dalam pendidikan muslim begitu dihormati. Para pelajar muslim (mahasiswa) memiliki perhatian besar terhadap gurunya. Bahkan, sering kali lebih suka korelasi intelektual secara eksklusif dengan gurunya daripada dengan tulisan-tulisan mereka.

===

Penghormatan Negara

Raghib As-Sirjani dalam kitab “Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām” (2009: 1/244) menyebutkan beberapa pola penghormatan itu.  Terkait pemerintah kepada guru sanggup dibaca keterangan dari Abdullah bin Mubarak Rahimahullah menuturkan ia belum pernah menjumpai guru, hebat Qur`an,  orang-orang yang berlomba-lomba melaksanakan kebaikan dan menjaga diri dari larangan-larangan Allah semenjak masa Rasulullah hingga kini melebihi apa yang ada di zaman Harun Ar-Rasyid.

Pada masanya, anak kecil usia 8 tahun hafal al-Qur`an atau anak usia 11 tahun menguasai fiqih dan ilmu lain, meriwayatkan hadits, berdialog dengan guru sudah hal lumrah pada dikala itu.  Apa rahasianya? Ini tidak lain alasannya ialah kepedulian Khalifah Harun kepada ilmu, guru serta murid semenjak dini. Untuk menggapai tujuan itu, berbagai dana yang dikeluarkan olehnya. Marwah guru di mata dia sangat agung sehingga diperlakukan dengan rasa hormat dan martabat tinggi.

Masih dalam buku yang sama (I/245), perhatian daulah terhadap guru juga diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan bawah umur guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah sehingga menciptakan hidup mereka menjadi nyaman.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi menyerupai yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan dia mendapat honor 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. (I/231).

Contoh lain yang tak kalah menarik, terjadi pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah, guru begitu dihormati dan dimuliakan. Syekh Najmuddin Al-Khabusyani Rahimahullah misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (1 dinar hari ini setara dengan Rp. 2.200,000 jadi setara Rp 110,000,000) untuk mengawasi waqaf madrasah. Di samping itu juga 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.

===

Penghormatan Orangtua kepada Guru

Orang bau tanah pun demikian juga melaksanakan penghormatan tinggi kepada guru.  Pada masa keemasan Islam,  mereka sangat antusias menyekolahkan bawah umur mereka kepada para guru. Mereka menawarkan kontribusi dan membiasakan untuk mengajarkan bawah umur kepada mereka.

Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan berguru sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya alasannya ialah ilmu yang dimiliki dan diajarkannya.

Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! Bertawalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah saya mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini [Atha’] (Aidh Al-Qarny, Rūh wa Rayhān, 296).

Ini memperlihatkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa ini harus mendatanginya untuk mendapat ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk berguru dan menghormati guru.

Demikian juga Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sebagai orangtua, dia mempercayakan pendidikannya kepada para guru. Biaya yang dikeluarkan oleh dia juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana bawah umur lain, tanpa harus sungkan alasannya ialah mendidik anak khalifah.

Di Nusantara juga begitu. Pada zaman Mataram Islam misalnya, oleh Mahmud Yunus –dalam buku “Sejarah Pendidikan Islam” (1993: 221-227)– disebut sebagai masa keemasan pendidikan dan pengajaran Islam di tanah Jawa alasannya ialah memiliki organisasi yang teratur dalam pemerintahan Negara Islam.

Kepedulian orangtua waktu itu sanggup dilihat dari  kontribusi pembiayaan pendidikan –seperti pesantren melalui pemungutan zakat,  srakah (iuran waktu nikah), wakaf dan palagara (pembayaran suatu hajat dari penduduk desa) juga raja.

Menariknya, begitu pedulinya-nya orangtua dan anak dalam duduk perkara pendidikan dan guru, pada waktu itu jikalau ada anak usia tujuh tahun belum sanggup membaca al-Qur`an, maka akan menjadi materi olokan teman. Mereka merasa aib jikalau pada usia itu belum sanggup baca al-Qur`an.

Sementara, kepedulian penguasa –dalam hal ini kerajaan—misalnya, pada tahun 1700, pada masa kerajaan Kartasura,  ada pesantren-pesantren yang dijadikan tanah perdikan diberi tanah sawah dan daerah tinggal sebagai hak milik bebuyutan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.  Kedua pola tersebut memperlihatkan betapa pedulinya masyarakat dan kerajaan Mataram pada guru. Mereka berafiliasi dan bahwasanya untuk menghormati pendidikan dan guru.

Dari beberapa pola tersebut memperlihatkan bahwa Islam sangat menghormati guru. Itu terwujud melalui kepedulian negara dan masyarakat. Sebagai penutup, pesan yang tersirat A. Hassan dalam buku “Kesopanan Tinggi Secara Islam” (1993: 25-28) menarik untuk direnungi, “Sungguh pun ilmu-ilmu ada tertulis di kitab-kitab, tetapi kunci dan rahasianya ada di tangan atau di dada guru.” Beliau juga menyarankan: hormatilah guru, berlakulah sopan kepadanya dan turuti perintah-perintahnya di hadapannya dan di belakangnya.

===
Sumber: /search?q=

—————————————
Silakan share dan follow
FB, IG, Telegram
@MuslimahNewsID

Twitter: twitter.com/m_newsid

Grup WA:
http://bit.ly/JoinWAMuslimahNewsID
—————————————
Berkarya untuk Umat
—————————————

0 komentar:

Posting Komentar

jangan pusing liat blog ini..!!!